BUMI TIDAKLAH BERPUTAR, SEBELUM DIPERINTAHKAN UNTUK BERPUTAR

Selasa, 28 Juni 2011

cerita lama tanpa ujung :)

Rabu jam 12 teng! Hiah deadline lagi.” Rutuk dina melepas semua penat
“Kamu ngomong sama siapa?”
“Nggak siapa-siapa”
“Nyesel?”
“Ya gak mungkin. Ini jalan yang sudah aku pilih, ini mauku, keputusanku.”
“Lalu...”
Hening sejenak menguasai kamar itu.
 “Aku sebel, kesal, jengkel, mumet! Semua deh. Banyak maunya, tuntutan, permintaan. Ughh!!!  Aku SEBEL.” Rutuk dina membongkar lemari hatinya.
 “Kamu kenapa?”, Dina lebih memilih diam daripada menjawab pertanyaan itu
***
Senin, 07.00
Din, sudah zuhur ke sekre kita rapat. Sebuah pesan singkat mampir ke handphoneku. Tak kubalas. Bukan berarti kuabaikan.
Pagi itu memang benar-benar letih aku dibuatnya, tugas kuliah yang semestinya dikumpul hari itu, belum terselesaikan sama sekali. Mau tak mau kejar tayang pagi itu aku ngebut membuat prepare.  Aku benci!!! umpatku dalam hati. Ini buka salah siapa-siapa, ini salahku karena malam tadi aku bener-bener ketiduran dan tidak ingat sama sekali untuk menyelesaikannya. WAKTU... lagi-lagi aku menyalahkannya. Aku memang sering bermusuhan dengan waktu, karena kadang ia tak hendak mebiarkanku berada disampingnya, boro-boro mendahuluinya.
“Din, makan...”
Aduh mama, aku lagi sibuk jangan gangu dong, pliss. “Iya, ntar” teriakku tanpa menghiraukan.
Detik semakin menjadi menertawakanku,
“Waktu-waktu-waktu, ayo cepat Dina. Ayo cepat.” Kadangku harus mengeluarkan ketakutan itu dengan suara agar tidak menumpuk dan sedikit melepaskan kekesalan itu.
Nanana.... melodi di handphoneku berbunyi,
Sebuah pesan singkat lagi. Pikirku. Kubuka dan isinya lebih kurang seperti pesan singkat yang pertama hanya saja berbeda pengirimnya. Kali ini benar-benar kuabaikan. Aku lebih memilih fokus ke prepare yang harusku persentasikan pada jam ke 2 nanti.
8 teng Prepare-ku selesai. Tapi rasa lega belum bisa menyelimutiku. Aku belum mempersiapkan diri tuk berangkat kekampus pagi itu, perutku masih kosong, bajuku Alhamdulillah sudah di setrika. Buru-buru kamar mandi menjadi target utamaku, kemudian makan dan cauw kekampus. Dosen jam pertama ini cukup rajin, dan mengesalkan bagiku karena beliau sering datang duluan dibanding aku.
***
“Permisi pak, boleh masuk?” tanpa menunggu kata-kata iya aku masuk saja. Ya mau gimana lagi, mahasiswa cuma 4 biji nambah satu untung jadi 5. Meskipun ku tahu aku salah, ku paham mungkin sering sekali dosen dikelasku makan empedu ketimbang makan hati melihat tingkah aneh mahasiswa zaman edan ini.
Dengan sedikit rasa tidak tahu malu dicampur ribuan takut diselingi dengan secuil keberanian aku berkata kepada dosenku itu. “Pak, kami malu datang telat terus. Gimana kalo dikasih batasan waktu kira-kira sampai jam berapa mahasiswa boleh masuk ngikutin pelajaran bapak.”
Dengan tenang bapak itu menjawab, “Ya kalo tidak mau telat datangnya harus pagi, mobil KPN kan sudah ada disana. Tinggal kamunya saja. Kamu naik apa kesini tadi”
“KPN,” jawabku singkat. Memang jarak kampusku dengan kota cukup jauh lebih kurang 20 menit bila mengendarai kendaraan pribadi. Dan kebanyakan mahasiswa yang datang telat biasanya menyalahkan KPN. KPNnya dak ada pak, KPNnya lama nian jalannya, dsb lah. Disatu sisi memang kadang  mobil KPN yang menjadi penghambat kedatangan kami tapi disisi lain ya, memang dasar mahasiswanya aja menurutku. Tapi jujur bagiku keterlambatanku bukan disebabkan oleh siapa-siapa melainkan diriku sendiri. Tapi ya mau gimana lagi, aku lebih memilih diam daripada harus menjelaskan apa-apa.    
   Bersambung...
Afwan kak.
“Din, kamu ikhlas?”
Butir-butir mutiara itu mulai jatuh mengalir manis dipermukaan pipi Dina.

Tidak ada komentar: