BUMI TIDAKLAH BERPUTAR, SEBELUM DIPERINTAHKAN UNTUK BERPUTAR

Selasa, 28 Juni 2011


Hidup tanpa Kata

Fani Aulia Mutmainnah

Mereka berkata kepadaku tentang duri-duri kehidupan
Mereka berbicara kepadaku tentang mawar yang akan merekah
Mereka mengajarkan kepadaku tentang pahitnya mengkudu dan lembutnya buih
Tapi mereka lupa memberitahukanku untuk terbang di kehidupan lepas.

            Aku adalah seorang wanita yang akrab dengan cerita-cerita barbie, angsa putih, cinderela, putri salju, putri tidur, bawang merah bawang putih serta cerita-cerita masa kecilku. Aku sangat ingat ketika dahulu waktu pertama kali aku meminjam buku putri tidur dan membacanya sambil tiduran. Aneh dan ajaibnya beberapa kali ku baca buku itu tidak pernah selesai. Karena aku selalu tertidur ketika dipertengahan cerita ataupun di awalnya. Sampai-sampai aku berpikir bahwa akulah putri itu dan mengharap sang pangeran kan datang bersama kuda tunggangannya.
            Tapi semua berlalu seiring perkembangan waktu, aku tumbuh menjadi putri di alam bawah sadarku dan berlaku seperti putri di cermin kehidupanku. Putri dari Jambi, kenyataan yang tak pernah aku akui sama sekali.
***
            Jambi. Kota kecil tempat kelahiranku di pulau Sumatra. Tapi dari dulu aku tidak pernah sadar bahwa aku orang Jambi karena di lingkunganku sudah banyak pendatang-pendatang yang bukan berasal dari Jambi. Begitupun orangtuaku, meskipun mereka lahir di Jambi, tapi sangat jarang membawa bahasa jambi asli di dalam rumah. Mungkin karena pengaruh saat mereka menjadi pengajar di tempat mereka bekerja. Hingga aku merasa bukan orang jambi meski tinggal di kota Jambi.
Bahkan 2 tahun tinggal di kota hujan pun tidak menjadikanku tahu apa keistimewaan yang bisa ku tunjukkan kepada teman-temanku saat gamelan, karawitan, dan bahasa sunda menjadi mata pelajaran wajib di sekolah dasar ini. Aku sempat stress ketika tahu bahasa daerah mereka menjadi salah satu pelajaran wajib waktu itu. Dan ternyata tidak hanya aku. Adikku yang berbeda 5 tahun dibawahku pun pernah menangis ketika tidak bisa mengisi ulangan bahasa sunda. Sungguh mengerikan karena kami bukanlah orang asli di tempat ini. Bila adaPR bahasa sunda, aku selalu minta ajarin dengan Teh Maya, dan sahabat-sahabat karibku di sekitar rumah. Bila sudah putus asa, terkadang aku melihat dan sharing dengan teman sekelas. Karena jujur aku blank. Artinya saja tidak mengerti apalagi bila harus membuat kalimat dengan bahasa itu. Innalillah... Tobat deh..
            Sedih. Kata pertama yang terbayang ketika aku harus pisah dari semua sahabat, tetangga, dan orang-orang yang sudah ku anggap sebagai saudara di kota yang setiap harinya membuat aku dan teman-temanku harus membawa payung dan mengangkat sepatu sepulang sekolah karena hujan dan banjir di dekat rumahku. Tapi aku bahagia, rumah kecil ini mengajarkanku kata berbagi dengan tetangga. Baik itu berbagi jemuran ketika mencuci, berbagi TV ketika menonton, berbagi daging kurban yang disate karena asap yang akan tercium kemana-mana. Tapi aku suka. Dan harus merelakan semua pergi di kehidupanku. aku akan bertemu  Hani dan Nur, 2 sepupuku di kota kelahiranku. Sebagai penguat untuk mengobati sedihku.
***
            Tempat tinggalku dijambi sangat berbeda dengan kontrakan di Bogor. Di jambi, aku tingal di tempat yang sulit di jangkau oleh kendaraan umum. Bahkan dahulu rumah-rumah yang ada di sekitarku tidak sampai 5 biji. Hani lah temanku bermain dan 2 orang penggangu yang mengikuti kami kemanapun kami pergi yaitu, Nur dan Ica, Adikku.
            Kami selalu bermain berempat. Sangat sulit mencari teman di lingkunganku. Bahkan jarang kami bertemu. Ntah mereka ada atau tidak, tidak penting bagiku karena dengan keluarga ini, aku sudah merasa bahagia dan cukup.
            Pertambahan usia dan kesibukan telah sedikit demi sedikit mengambil semua dariku. Mulai dari Ica dan Nur yang pulang sekolah sampai sore, Hani yang sibuk dengan kegiatan sekolahnya dan aku yang ikutan sibuk-sibuk gak jelas. Hingga pada akhirnya Nur memutuskan untuk mondok di Darunajah, Cipining. Begitupun Hani, kakaknya Nur. Ia memutuskan untuk kuliah di luar kota. Ica juga semakin besar, ia di terima di sebuah sekolah yang mewajibkan siswa-siswanya tinggal di asrama. Dan aku... aku masih di Jambi bersama orangtuaku. Mengukir pelangi di kota Jambi menyibukan diri dengan segala aktivitas-aktivitas yang aku senangi. Dan pada akhirnya ku temukan seorang kakak yang perhatian dan peduli kepadaku di salah satu organisasi kampusku.
            Dahulu.. aku bukanlah seorang anak yang cengeng, suka mengeluh ataupun mengadu. Cukup aku yang tahu apa masalah diriku. Tapi semua berakhir hingga ku temukan masalah yang membuatku tak tahn untuk menahan sesak di dada.
            Saat itu aku mendengar bu Isa guruku sedang menceritakan keburukan Rama, seseorang yang aku kenal dan kebetulan sering curhat kepada Bu Isa. Karena telah menggangap Bu Isa sebagai orang tuanya sendiri. Tapi itu yang ku sesalkan mengapa Ia begitu mudah mengeluarkan dan menceritakan apa yang sudah dipercayakan kepadanya. Akhirnya Rama tahu dan langsung menemui Bu Isa. Aku tidak tahu apa yang mereka bincangkan tetapi yang jelas aku sungguh merasa bersalah, karena gara-gara akulah Rama tahu tentang semua itu. Sebenarnya tidak ada maksud sedikitpun untuk memperburuk keadaan apalagi merusak hubungan baik antara Rama dan Bu Isa. Aku hanya menginginkan agar Rama tidak menceritakan hal-hal yang pribadi lagi kepada Bu Isa. Aku tak mau privasi Rama di ketahui oleh semua orang. Tapi aku salah. Dan yang lebih aku sedihkan adalah seharusnya akulah orang yang di marahin dan mungkin di benci oleh bu Isa, guruku. Tapi aku salah, Bu Isa malah menuduh dan marah kepada orang lain yang saat itu bersama denganku. Aku sedih, sangat. Aku tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya dengan Bu Isa, karena dia adalah guruku yang telah mengajariku dan dia telah baik kepadaku. Aku melakukan hal tadi, bukan karena aku benci atau tidak tahu berterima kasih kepada guruku. Aku hanya tidak mau aib saudaraku nanti akan terbeber lebih jauh. Tapi ntahlah, sekarang Ramapun menuduh aku mengadu domba mereka, mungkin Rama marah kepadaku. Aku tak peduli lagi, yang aku pikirkan adalah nasib temanku yang harus menanggung beban karena kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. Hingga malam itu 2 jam nonstop ku telpon kak Paras untuk sharing dan mengambil solusi apa yang harus aku lakukan.
            Semakin lama aku semakin dekat dengan kak Paras dan ternyata kami cocok. Sering aku bercerita dengannya dan begitupun sebaliknya. Aku merasa punya seorang kakak perempuan. Seneng rasanya bisa berbagi dan bersama. Tapi semua ternyata tidak semudah apa yang aku bayangkan, setelah agak lama aku dekat dengan kak Paras ternyata banyak kecemburuan yang terjadi pada teman-temanku yang ingin dekat dan menjadikan kak Paras sebagai kakak juga.
            Benci, kesel, marah dan kecemburuan sudah mulai menghampiriku. Tidak hanya satu orang tetapi juga mungkin 3 atau 4. hanya sikap mereka berbeda paling hanya menjauh ketika berhadapan denganku. Aku sedih, apa salahku? Apakah salah ketika aku memilih kak Paras sebagai kakakku. Atau mungkin mereka cemburu karena kak Paras lebih dekat dan memilih aku sebagai adiknya. Ah... aku bingung. Apanya  yang salah? Masalah hati siapa yang tahu. Toh tidak ada yang bisa di salahkan, kak Paras memang orang yang perhatian pada semua orang, siapapun. Hingga terkadang ia sering mengorbankan dirinya sendiri untuk orang lain. Itu yang aku salut.
            Aku bingung harus bagaimana terkadang aku ingin lari dari semua ini, tapi sulit. Aku sangat sayang dengan kak Paras karena dia telah banyak menghiburku, dialah temanku saat aku sendiri, dia tempat curhatku dan semua. Dia adalah kakakku. Tapi aku tak pernah sama sekali ingin ataupun membayangkan punya musuh apalagi temanku sendiri. Ntah lah apa yang harus ku lakukan. Aku lebih banyak diam ketika sepupu kak Paras yang sudah dianggap seperti adiknya marah kepadaku karena mungkin merasa sudah mengambil kak Paras. Apa aku salah ya? Tapi hanya satu yang menjadi penguatku untuk bertahan dekat dengan kak Paras. Kak Paras selalu berkata kepadaku untuk sabar dan jangan dengarin kata orang. Disitu aku sadar, ternyata Kak Paras tidak ingin aku down dan menjauh dari nya. Kak Paras ingin agar persaudaraan ini terus berlangsung sampai kapanpun. Dia sangat menyayangiku seperti layaknya seorang adik kandungnya. Bahkan lebih. Banyak senyum yang ia ciptakan untukku. Walau hanya dengan sebuah roti kecil untuk ku agar tidak kelaparan saat beraktivitas hingga sore hari.
            Hingga pada akhirnya aku harus mendengar kabar yang sangat menyedihkan. Kak Paras diminta orangtuanya untuk kembali kekampung halamannya di Taliabo, Sulsel. Sungguh sangat jauh dari tempatku berada di Sumatra. Mau tidak mau ka Paras harus ikut. Aku sedih, bahkan sangat. Tapi ku coba ikhlas dan tidak memperlihatkan sedihku di depannya. Sudah cukup banyak orang yang menyesali keputusannya untuk memenuhi janjinya kepada kedua orangtuanya. Dan aku tidak ingin kak Paras tertekan.
***
Aku merasa kehilangan, sangat! Semua berubah dan aku berubah. Sulit sekali rasanya kutemukan aku yang dahulu di dalam diri ini. Aku menjadi lemah seperti tidak berdaya, tak ada tawa, tak ada cahaya dan suara. Aku sendiri di dalam tidur-tidur mimpiku menunggu sang pangeran berkuda yang kan membangunkanku dalam semua hayalanku.

Tidak ada komentar: