BUMI TIDAKLAH BERPUTAR, SEBELUM DIPERINTAHKAN UNTUK BERPUTAR

Rabu, 29 Juni 2011

Karena Hati Yang Memilih Tempatnya

Kami berjalan melewati setapak demi setapak langkah ini
Kami terbang mengikuti arah mata angin
Kami tenggelam bersama dengan hati.
Semua rasa kami pendam, maknai dan lukiskan
Cukuplah kami dengan tinta
Mengukir lika-liku kehidupan
Dan cukuplah kami dengan do’a
Mengharap semua ikhlas
Sepenggal lagi kutemukan syair yang tidak tertulis nama itu dibawahnya hanya tertulis NCI. Aku tidak pernah tahu sejak kapan kumulai menyukai kertas-kertas yang terbuang di halte dan tertarik membacanya. Dan lebih tidak tahu lagi bagaimana aku bisa memperhatikan tulisan liar yang kusebut puisi jiwa itu.
***
Seminggu yang lalu fanisa kehilangan buku indah yang merupakan pemberian dari adik angkatnya ketika kuliah dulu. Penuh kenangan dibuku itu dan dengan keteledorannya, ia mulai kehilangan sesuatu catatan yang sangat berharga dalam alur kehidupannya, ‘De Safa’
Bismillahirahmanirahim...
Asalamu’alaikum wr.wb
Kasango, 26 mei 2009
De, gimana kabarnya pagi ini? Ade kakak kangen ade,. De’ gimana keadaan jambi setelah kepergian kakak? De’ kakak ingin bertemu.. Adik tahu, di dalam do’a kakak, kakak sering membayangkan ade sedang berada disisi kakak. Kita sholat sama-sama, tilawah sama-sama dan kakak seakan melihat senyum ade. De kakak rindu sama ade dan hanya lantunan do’a yang bisa kakak kirimkan berharap ade selalu bahagia, tersenyum, ceria serta sukses didunia dan akhirat. Dan satu lagi, tetep sayang sama kak fanisa disini.
          De, kapan ya kita bisa bertemu lagi. Kakak teringat saat kita pergi berdua entah mau kemana hanya bermodal feeling. J, masuk hutan keluar hutan. Gak nemu jalan akhirnya balik lagi.hehehe... Tapi kakak seneng karena dengan begitu kakak bisa jalan-jalan sama ade. Trus ade masih ingat gak kita teriak bareng, teriakan paling kencang untuk membuang semua beban dan pikiran negatif kita selama ini. Ade masih ingat kan? De... kakak merasa sendirian ditempat ini, kakak kangen sama ade...
          Oiya, kakak lupa nanya gimana kabar benih pohon cinta itu? Sering ade lihatkan? Masih dijaga gak dari gangguan hama, panas, badai dan topan. De, kakak mau tanya sesuatu, apakah masih ada hama yang membuatmu sangat ketakutan sehingga kita harus merubah warna cinta menjadi tanah?
De... kakak sayang ade... selingi nama kakak didalam do’amu ya. Miss u. Kakakmu fanisa...
Wa salamu’alaikum wr.wb.
 Hari ini pun fanisa masih penasaran kenapa  safa tidak pernah membalas surat-suratnya. Apakah secepat itu safa melupakan fanisa didalam hidupnya? atau jangan-jangan safa telah menemukan kakak angkat baru yang jauh lebih sempurna dariku. De safa pliss... tolong balas surat kakak ini, pinta Fanisa pada Allah.
“Jalan Sawani 2 no. 1 kel. Rawasari kec. Kotabaru jambi 36125, sip.” Setelah selesai mengajar nanti aku harus mengirimkan surat ini buat de safa semoga dibalas. “kak nanti tolong ingetin fanisa ke pos ya, mau ngirim surat.”, pintaku kepada kakakku yang merupakan kepsek taman bermain di daerah tempat kelahiranku itu.
“iy, insya Allah de...”, balasnya dengan senyum manis
Setelah selesai mengajar dan bermain bersama manusia-manusia kecil dengan segera aku pergi ke pos. Bismillah, de safa. Tolong balas surat kakak ini. Amin ya Allah.
***
“Assalamu’alaikum..., kak mai, kak mai.”
“wa’alaikumsalam” balas seorang wanita yang tak jauh lebih tua umurnya dariku. “ada apa de?” tanyanya tanpa melihat wajahku.
“mau titip surat buat kak fanisa lagi. Kak, surat kemaren udah nyampe ya?”
“udah kali. Kakak kan bukan pak pos.”
“kakak ni..., candaku. Kak, boleh gak kami tahu alamat kak fanisa? Biar kami dak usah ke rumah kakak lagi kalo mau kirim surat buat kak fanisa. Boleh ya kak?”
“jangan macem-macem!” hentaknya dengan suara geram dan masuk kedalam.
Kak maiya adalah salah seorang kakak senior di organisasi yang aku geluti. Dahulu hubungan kami cukup baik tapi semenjak aku berani mendekati kak fanisa untuk menjadi kakak angkatku. Hubungan kami mulai rengang dan dingin. Bahkan pernah ia berkata bahwa ia membenci diriku. Hari itu sepertinya dia bener-bener kesal kepadaku. Sudahlah, aku tidak mau memperpanjang. Mungkin memang aku yang bersalah karena telah menyanyangi seseorang yang sudah disayangi oleh orang lain.
“kak ,safa pulang, suratnya safa taruh di atas TV. Makasih ya. Asalamu’alaikum” teriakku biar kak maiya bisa dengar dari dalam kamarnya.
Dear diary...
Diary, ini sudah surat ke 10 yang safa tulis buat kak fanisa tapi kenapa ya kak fanisa gak balas-balas surat dari safa. Apakah kak fanisa udah lupa sama safa? Masa secepat itu sih? Baru 2 bulan lho kak fanisa pulang ke wilayah asalnya. Masa sih kak fanisa lupa. Kak, kakak lagi ngapain sekarang? Safa kangen banget. Kak, kenapa kakak gak ngasih alamat tempat tinggal kakak disana sebelum kakak pergi. Kan sekarang safa yang repot. Harus ke rumah kak maiya dulu ngirim surat. Dan pasti kak maiya nambah sakit hati gara-gara safa ngirim surat terus kekakak.
Kak, safa gak papa sih harus ketemu muka kak maiya yang dingin dan sinis tapi kadang safa malu kok kesannya safa terlalu mengharapkan kakak sedangkan kakak gak pernah sekalipun ngebalas surat-surat safa. Kak, balas donk surat-surat safa. Satu kali aja biar safa bisa tahu alamat kakak dimana dan safa gak perlu buat kak maiya sakit hati lagi.
Kak, safa rindu sama kakak... kak, buku puisi safa udah ada dipasaran tapi namanya bukan nama asli safa. Safa pake nama kesukaan kakak. Kak, kakak masih ingat dengan pohon cinta kita? Masih kah ia ada dihatimu kak?kak, pohon itu selalu kujaga dari hama, panas, badai dan topan. Tapi seperti yang kukatakan padamu. Pohon itu butuh makanan dan itu adalah tugas kakak memberikannya makan. Kak fanisa, safa sayangg kakak. Walaupun mungkin kak fanisa sudah melupakan safa disini. Tapi safa akan tetap berusaha menjaga pohon cinta itu, tumbuh, besar, kuat, bermanfaat sehingga bisa menolong orang lain. Safa gak akan mencari penganti kakak untuk menyirami pohon itu, karena safa gak mau ada penganti kakak. Safa akan berusaha untuk membuatnya tumbuh dan disenangi banyak orang.
Jambi, 24 juni 2009
@kamar. Jam oo.45
                Kak, kali ini safa tak ingin membuat puisi, safa hanya akan menuliskan puisi pertama yang safa buat untuk kakak sehingga safa bisa menjadi penulis puisi. Kakak ingat gak dengan puisi ini. Surat cinta kita.
Keluh bahgia


Ada bintang yang kan tetap bersinar menyinari cinta kita
Ada cahaya yang kan terus memancar tanpa dinding yang dapat membendung cinta
Saat kesepian kan lenyap menyertaimu, cinta
Dan bila tawaku tak mampu lagi hadir
Menemani harimu
Maka cukup lantunan cinta ini hadir menyertaimu

Esok,
Saat mentarikan menyapa kulit tipis kita
Dan mata kita tak dapat saling berpandang.
Pejamkan matamu cinta
Dan lihatlah kita dengan cinta
Jambi, 19 Mei 09
Jam 0.17
For my cinta (Seorang ukhti yang dapat mengenalku menjadi pecinta seorang Cinta)

Dan safa masih ingat tulisan sambungannya dari kakak
Ya, aku tahu dan aku rasa
Dan rasa cintaku tak akan bertambah padamu
Bila aku tak dekatkan diriku kepada Sang Pemilik Cinta.
***
Asalamu’alaikum... kak Fanisa yang sudah tersimpan rapi dihati. Safa mau minta maaf bila akhir-akhir ini kami membuat kakak sedih dengan sikap dingin dan seadanya. Jujur banyak hal yang inginku sampaikan. Bila mungkin selama ini engkau hanya mendapatkan sebuah senyum. Tahukah engkau, banyak bahasa yang ingin ku ungkap dari senyum itu. Sebuah rasa rindu yang mengebu, sebuah sayang yang berharap bertemu, sebuah kesenangan atas semua perhatian yang kau berikan, sebuah cinta yang kau berikan kepadaku, sebuah benih cinta yang tumbuh menjadi pohon cinta besar, yang berharap suatu saat pohon cinta itu bisa bermanfaat bagi semua. Sedikitpun tidak pernahterbesit untuk membuat pohon itu menjadi duri bagi orang lain. Karena ku ingin pohon cinta itu bersemi dan tidak mati. Aku tidak ingin membuat benih pohon cinta itu mati akibat ulah manusia yang merasa tergangu atasnya. Makanya terkdang ku menjadikan pohon cinta itu seperti tanah, agar warnanya sama dengan tanah, tidak terlihat oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Walaupun sebenarnya pohon cinta itu akan terus tumbuh baik tanpa pengetahuan siapapun, hanya kita yang tahu. Kak, sirami pohon itu dengan cintamu. Karena aku kadang tak sanggup menjaganya dari terpaan panas, debu, angin topan dan hama. Sirami pohon itu kak... karena hanya dengan air pohon itu akan mendapat makanan dan gizi. Sirami pohon itu kak. Karena itu juga yang membuatku mampu bertahan menjaga benih pohon cinta itu. Sirami kak, walau tidak secara langsung. Sirami ia dengan cara yang paling bijak dan indah. Entah menyatu bersama air hujan, embun, atau dari air bawah tanah. Sirami ia kak, agar aku tidak merasa sendiri memiliki pohon itu. Kak, aku akan terus bertahan semampu kekuatanku. Dan aku akan terus menahan, menjaga, melindungi benih pohon cinta itu, karena itu yang ku mau dan itu pilihanku. Kak, sirami pohon itu, agar aku turut merasakan guyuran kesejukan itu. Kami percaya kakak. Sirami pohon cinta itu kak dengan cara yang bijak baik sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Pohon cinta kita...
Delivered to: A Love.k’ Fanisa
***
“asalamu’alaikum... tante... maiya kangen. Tante apa kabar? Nte ni udah lupa ya sama adiknya sendiri?”
“wa’alaikumsalam mai... ya enggaklah, gimana sih ante lupa sama keponakan tante sendiri. Gimana kabar ade?”
“mai baik. Tapi mai kangen sama tante. Gak ada teman main lagi sih. Mai kesepian Nte. Nte, mai tu disini dak ada teman curhat lagi. Sedangkan persoalan makin lama makin banyak. Ih, pokoknya pusing mai”
“ih jangan pusing-pusinglah nanti jadi pening”
“ai tante ni...”
“Mai... mulai kapan belajar puisi? Kata-katanya dalam banget”
“ah tante ini...”
...
Ya, ntah kenapa aku ingin menuliskan kembali puisi-puisi yang ku temukan di halte itu, kemudian ku kirimkan untuk tanteku tersayang Fanisa. Sudah hampir genap sepuluh puisi yang kutemukan. Dan memang sengaja tidak ku sertai nama pengarangnya. Habis aku tidak menemukannya di lembaran kertas itu. Dan aku juga bukan seorang plagiat yang kemudian menamai karya orang lain dengan namaku. Tulisan itu aku biarkan kosong tanpa nama dan aku menulis surat buatanku dikertas lain meskipun dalam satu amplop yang sama.
Pembicaraan ditelpon antara aku dan tante ku fanisa tersayang berlangsung hangat malam itu. Kami sudah lebih kurang lima tahun bersama dan tante fanisa yang umurnya tak jauh beda dariku itu sudah ku anggap segala-galanya. Teman, ibu, kakak. Pokoknya lengkap. Dia adalah sumber kekuatanku. Aku sangat sanyang kepadanya makanya aku tak rela bila ada orang lain yang ingin merebutnya dariku. Walaupun ia adik kelasku. Tante Fanisa adalah satu-satunya harta berharga milikku. Dan aku gak mau dia meninggalkanku dan lebih mencintai orang lain. Tante, tante tahu gak, maiya itu sayang banget sama tante. Tante sayangi maiya juga ya.
Kulihat tumpukan surat dari Safa yang kutaruh di pojok pintu kamarku. Mau diapain surat itu ya. Aku gak mau mengirimkannya kepada tante Fanisa. Karena aku gak ingin cintanya terbagi untuk yang lain. Sudah pernah kucobakan ikhlas menerima kedekatan Tante Fanisa dan De safa. Tapi hal itu hanya bertahan sebentar. Aku tidak bisa membohongi diri bahwa hati ini cemburu dengan kedekatan mereka berdua. Sehingga kadang de safa menjadi korban kecemburuanku. Aku tidak mengerti, apakah begitu besar rasa sayangku kepada tante Fanisa sehingga takkan kubiarkan tante Fanisa dimiliki oleh orang lain.
***
“lagi ngapain mai?”
“lagi nulis surat buat K’Fanisa”, aku memanggil tante ku itu ‘kak’ kalo dikampus. Maklumlah umurku tak jauh beda hanya beda 2 tahun.
“boleh lihat?”
“eit..., yang ini jangan. Nih, yang ini aja nih” ku berikan kertas yang berisi puisi dari NCI itu.
Keluh bahgia


Ada bintang yang kan tetap bersinar menyinari cinta kita
Ada cahaya yang kan terus memancar tanpa dinding yang dapat membendung cinta
Saat kesepian kan lenyap menyertaimu, cinta
Dan bila tawaku tak mampu lagi hadir
Menemani harimu
Maka cukup lantunan cinta ini hadir menyertaimu

Esok,
Saat mentarikan menyapa kulit tipis kita
Dan mata kita tak dapat saling berpandang.
Pejamkan matamu cinta
Dan lihatlah kita dengan cinta
Jambi, 19 Mei 09
Jam 0.17
For my cinta (Seorang ukhti yang dapat mengenalku menjadi pecinta seorang Cinta)
kayaknya aku pernah baca deh. Dimana ya?”. Aku hanya tersenyum dengan komentar temanku itu. “ah, gak inget!”. Tring...tring..., deringan HP temanku itu berbunyi dan dia pamit permisi mencari tempat yang sedikit bisa bebas dia mengekspresikan suaranya. Karena sekarang aku berada di Masjid kampus. Gak enak kalo ribut di Masjid.
Surat ini akan aku pos kan sepulang kuliah. Aduh aku penasaran kira-kira apa ya balasan dari Tante Fanisa untuk suratku kali ini...
***
Beberapa hari kemudian,
Wahai... Tuhan aku lemah, hilang berlumur dosa.
“Asalamu’alaikum Tante Fanisa Tercinta...”
“wa’alaikumsalam wr. Wb. De’ pakabar?”
“baik Nte. Nte gimana kabarnya? Tumben nelpon pagi-pagi gini ada apa?”
“alhamdulillah baik. De, Tante mau tanya, tapi maaf ya sebelumnya kalo nanti pertanyaannya sedikit sensitif”
“ada apa Nte? Pertanyaan apa sih?”
“De..., apa benar puisi yang ditulis itu punya ade?”
“heeh...bukan Nte.”
“terus puisi siapa de?”
“ada apa Nte, serius banget. Nyantai-nyantai.”
“de’. Tante serius!” Kali ini suara tante sedikit keras.
“iya, aku nemuin puisi itu di halte bis dekat tempat kesukaan Tante”
“De...,”kali ini suara tante sedikit serak seperti orang nangis. “apa dibawahnya tertulis 3 huruf NCI?”
“iya Nte, kok Tante tahu. Tante kenal siapa penulisnya?”
“De..., yang nulis itu De Safa, adik angkat kakak”. Glek! Seperti ditimpa ratusan bom rasanya. Itu puisi cinta dari orang yang ku larang cintanya... “puisi adik kemaren adalah, puisi pertama yang Safa hadiahkan ke Tante”
                Semua rasa bercampur jadi satu, marah, benci, sebel, kesel pokoknya lumat kayak gado-gado. Aku gak bisa berpikir rasional lagi. Hari ini aku kesel atas semua kebodohan diri kenapa aku harus menulis puisi yang tidak tahu siapa penulisnya. Dan kenapa aku kirimkan puisi sainganku itu kepada orang yang paling aku sayangi. Kulihat tumpukan surat dari Safa yang tidak pernah kukirimkan ke Tante Fanisa. Sengaja ku buka dan alangkah terkejutnya aku, ternyata isi surat itu adalah puisi-puisi yang sama dengan yang ku temukan di halte bis. “TIDAK...”

Tidak ada komentar: