BUMI TIDAKLAH BERPUTAR, SEBELUM DIPERINTAHKAN UNTUK BERPUTAR

Kamis, 15 Desember 2011

sepatu kaca-tugas CCMania 3

"Sandra, kau terlihat cantik dengan sepatu kaca itu. Bayangkan, dirimu bak cinderela asli yang turun hadir dari dunia nyata..”
“Ah, lebay kau ‘ndri. ya udah San, kita pulang yuk.”
“Udah, Ton, biarkan Sandra menikmati indahnya sepatu kaca itu dulu. Lihat tuh, dia masih asyik. Jangan gangu lah”
Sandra tersenyum, “Yuk Ton, Ndri kita pulang!”
Andri dan Tono saling berpandangan seolah berkata dalam tiap tatapan. Mereka mengerti dan paham lalu tersenyum “Ayo… Tuan Puteri…”
“Apaan sih! Yang paling dulu sampai di gapura, dia yang menang.” Mereka berlari, berlari dan berlari. Lalu tertawa lepas menikmati senyum mentari.
***
“Assalamu’alaikum Ummi…”
“Wa’alaikum salam wrwb. Sandra, Tono, Andri. sudah pulang ya? Gimana tadi pelajarannya disekolah? Bisa mengikutinya.”
“Iya, Ummi tadi aku bias menyelesaikan soal dari pak Adam didepan kelas. Hebatkan aku Ummi. Kasih selamat dong!!”
“Oiya, selamat ya cantik, kamu memang pinter. Terus berlajar dan berdoa ya supaya nanti kamu bisa juara lagi.”Sandra tersenyum.
“Aku juga Mi, tadi waktu lomba lari di sekolah dapat juara 2. Hebatkan. Andaikan saja tadi gak ada batu didepan, pasti aku bias nglahin Jono.”
“Eitt.. gak boleh seperti itu, juara 2 itupun sudah hebat, kamu harus bersyukur karena teman-teman yang lain juga berlomba tapi gak dapat juara lagi”
“Tuh, dengar Ndri.”
“Ih, apaan sih.”
“Eh, sudah, kok malah berantem. Udah masuk sana, ganti pakaian terus makan.”
“Siap Ummi” seru mereka bertiga bergaya ala polisi yang patuh pada atasan. Ummi tersenyum.
***
Anak Ummi banyak, tidak hanya kami bertiga, ada sekitar 20 orang lagi saudara kami. Meski kami bukan lahir dari rahim yang sama, tapi kami diajarkan untuk saling mencinta layaknya saudara, saling berbagi dan memberi. Kami seperti kakak adik. Pokoknya rame disini. Ada Ibu Farah yang biasa kami panggil Ummi, Ayah Yahya yang kami panggil Abi dan adek Zahra serta calon adik baru kami di kandungan Ummi farah. Kami adalah anak-anak yang tidak tahu dimana orang tua kami, tapi Ummi dan Abi selalu mengatakan bahwa kami juga anak-anak mereka. Mereka berdua sangat baik dan sudah seperti orang tua kami sendiri. Mereka yang membiayai uang sekolah agar kami tetap merasakan pendidikan seperti anak-anak lain. Adek Zahra pun juga begitu, dia begitu lucu dan menganggap kami adalah saudara-saudaranya. Bukan orang lain.
 Setiap sore, kami akan berkumpul bersama dan berceloteh ria sebagai tanda ikatan yang hangat terhadap keluarga kami di sini. Lalu setelah itu barulah Ayah dan kakak Ilman mengajak kami belajar bahasa arab sembari menghapal al-qur’an. Indah bukan…
“Iqro’.”
“Iqro’.”
“Bacalah…”
“Bacalah..”
“Bismirabbikallazi…”
“Bismirabbikallazi..”
“Dengan nama tuhanmu”
“Dengan nama tuhanmu”
“Kholaq..”
“Kholaq..”
“Yang menciptakan”
“yang menciptakan”
***
Malam itu, aku masih memikirkan tentang sepatu kaca yang indah tadi. Aku sangat menginginkannya. Tapi gak mungkin aku egois. Sedangkan saudara-saudaraku yang lain juga masih membutuhkan banyak uang. Dan gak mungkin aku minta sama Ummi. Diizinkan tinggal dirumah inipun aku sangat bersyukur. Tapi entah mengapa aku tidak bisa menghilangkan bayangan sepatu itu dari benakku. Memang indah…sangat indah… dan aku tertidur dalam khayalku tentang sepatu indah itu.
***
“Sandra, kamu dicari ummi…”, seru Ratna teman sekamarku.
“Ada apa ya?” Ratna hanya mengangkat bahu menandakan bahwa ia tidak tahu.
Segera ku bereskan buku-buku yang berserakan di lantai dan menemui Ummi.
“Ummi, Ummi mencari Sandra?”
“Ia, Ummi nyari Sandra. Sandra, Sandra bahagia tinggal disini?”
Aku binggung, pertanyaan ummi aneh. “Ummi, kok ummi ngomong begitu? Sandra sangat bahagia tinggal bersama ummi disini.” Ummi hanya tersenyum, tapi ku tahu itu senyum yang punya makna. Lalu memelukku erat. Aku binggung.
“ Sandra, Maafin ummi ya yang tidak bisa membahagiakan Sandra. Tapi, ummi bahagia bisa bersama Sandra disini. Apalagi melihat prestasi Sandra disekolah yang bagus dan rajin ibadah. Ummi bangga sama Sandra. Tetap dijaga ya ibadah dan prestasinya.”
Aku bingung kali ini kata-kata ummi tambah ngelantur. Sampai meneteskan air mata. Ada apa ini. Aku bingung.
“Sandra, tadi Ummi ditelpon sama ibu Sandra. Katanya, insyaAllah besok ibu akan kesini dan mengajak Sandra tinggal bersama ibu. Sandra bahagiakan?” kata-kata Ummi tidak seperti wajahnya. Meski tersenyum tapi ku tahu ia begitu sedih. Begitupun aku. Aku tidak tahu harus apa. Aku hanya terdiam menatap ke Ummi.
“Nanti sore, Sandra siap-siap ya. Trus pamitan sama teman-teman. Sandra siap-siap ya.” Ummi mencium keningku dan melepaskan pelukannya lalu pergi.
Aku masih terdiam dan berjalan kosong lunglai. Tak tahu, harus apa. Senang atau sedih. Dan aku juga tidak bisa menterjemahkan ini kabar duka atau suka. Tapi terasa sakit.
Aku memang berbeda dengan saudara-saudara yang ada disini. Kebanyakan anak lain ditinggal ibu atau ayah mereka. Tapi aku, aku berada disini diantar langsung oleh ibu sewaktu kecil tanpa pernah tahu kenapa disini dan kemana ibu. Yang aku tahu, aku senang tinggal di keluarga ini. Karena tidak akan ku dengar suara teriakan, keras, marah dan tangis dari kedua orangtuaku. Hingga 10 tahun aku disini. Tak pernah ku tahu dimana mereka. Dan tiba-tiba esok aku akan bertemu dengan ibu kandung yang telah melahirkanku dan tinggal bersamanya. Aku tak tahu harus merasa apa. Tapi yang pasti aku bingung. Apa bisa aku merasakan dan meresapi makna ibu kepadanya?. Dan Ummi yang sepenuh hati merawatku, saudara-saudara yang begitu mencintaiku? Lalu, dimana aku harus melangkah.
***
Pagi ini, aku masih terdiam. Teman-teman sudah mengetahui kabar ini. Mereka sedih termasuk kedua sahabatku Andri dan Tono. Mereka tak mau mengantarku untuk menjumpai ibuku. Entah dimana mereka berdua. Tuhan, apa ini akhir dari kisahku?, ucapku didalam hati.
Aku masih binggung dalam diamku. Tak ada kata yang keluar dariku semenjak Ummi mengabarkan cerita itu. Teman-teman juga sepertinya mengerti sehingga tak ada yang mau mengusikku.
Mobil sedan hitam melintas di halaman. Ummi dan Abi telah memberikan aku nasehat subuh tadi setelah sholat. Dan kali ini, aku melihat seorang wanita dan laki-laki keluar dari mobil itu. Aku melihat Ummi dan Abi. Ummi terus memegang tanganku dan melihatku dengan mata berkaca dan senyum yang dipaksakan.
Abi bersalaman dengan laki-laki itu dan mempersilahkan mereka duduk di ruang berkumpul kami. Ummi masih mengenggam tanganku dan merangkuh tangannya di pundakku.
“Sandra, Itu Ibu Sandra. Ayo salam.”Ucap Ummi. Aku pun masih binggung, apa benar ia ibuku. Aku tak ingat. Bagaimana anak 6 tahun bisa mengingat wajah ibu nya yang telah hilang 10 tahun dari hidupnya. “Dan ini adalah Ayah Baru Sandra, ayo salam sayang” seru, wanita yang dipanggil ibu itu.
Aku masih terdiam tanpa suara. Memandangi Ummi, Abi dan Saudara-saudaraku. Lalu kulihat Ibu dan Ayah yang masih berbincang dengan Abi dan Ummi. Tuhan… apa ini, mengapa rasanya sakit sekali. Bisikku dalam hati.
Tepat jam 2 siang aku dibawa kedalam mobil itu. Ummi memandangiku dengan pekat dan berkaca-kaca. Teman-teman semua menangis dan aku tak berekpresi apa-apa. Diujung sana, kulihat Andri dan Tono melihatku dari kejauhan. Seolah mengucap selamat tinggal. Aku sedih, tapi tak mampu menangis. Aku kehilangan jiwaku. Serasa mati. Sakit sekali..
Ibu dan ayah terus berbincang mengajak aku bercerita, ekspresi mereka sungguh bahagia. Aku tahu. Dan aku juga tidak mau merusak senyum itu. Sesekali aku tersenyum kepada mereka.
***
Rumah itu megah bertinggkat 2. Aku tidur ditinggkat atas. Ayah dan Ibu di tinggkat bawah. Tapi, rumah megah ini begitu sepi. Tidak ada teman sekamar. Tidak ada kumpul bareng disore hari. Tidak ada belajar mengaji dan al-qur’an. Tidak ada cerita rasul dan nabi. Aku sendiri… dan begitu sendiri.
Malam itu, tangisku pecah dalam sejadah sujud malam. Aku tak punya teman untuk sekedar berjamaah disini. Aku begitu rapuh dalam kesendirian. Aku ingin ke panti…
Esoknya aku dipindahkan disekolah baru, Ayah dan ibu bekerja hingga sore hari dan ketika pulang mereka kecapean dan pergi tidur. Hanya diakhir minggu kami biasa berbincang. Aku sungguh rindu rumah lamaku bersama ummi dan abi.
Minggu itu, aku diajak berbelanja ke mall dan membeli perlengkapan yang aku butuhkan. Hari itu, aku melihat sepatu kaca yang dahulu sering aku lihat bersama 2 sahabatku. Kenanganku kembali kemasa itu.
“San, Kamu kelihatan cantik memakai sepatu itu, seperti cinderela yang turun ke bumi.”
Andri, Tono… aku tidak menginggikan sepatu kaca itu lagi. Aku hanya ingin seperti dahulu yang mengimpikan sepatu kaca bersama kalian. Bukan bersama sepatu kaca dan mengimpikan kalian.
ri, Jambi, 201111

Tidak ada komentar: